A. Pendahuluan
Beda
pendapat merupakan ketentuan alam (order of nature) atau dalam bahasa
al-Qur’an, “sunatullah”. Perbedaan pandangan, keyakinan, dan agama, merupakan
fenomena alamiah. Barang siapa mengingkari adanya perbedaan berarti mengingkari
sunatullah, ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan. Perbedaan yang ada,
di satu sisi akan menjadi suatu hal yang menguntungkan bagi manusia. Dengan
adanya perbedaan seseorang dapat merasakan berfariasinya hidup ini. Kekurangan
yang dimiliki seseorang ada pada kelebihan yang dimiliki orang lain demikian
pula sebaliknya. Tanpa adanya perbedaan tidak akan mungkin ada kemajuan. Namun
di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan tersebut kadang meruncing
sampai ke titik perseteruan. Untuk mempertahankan posisi masing-masing, tidak
jarang agama atau interpretasi teks-teks keagamaan dijadikan sarana legitimasi.
Agama sebagai pedoman keselamatan hidup dipahami secara sempit sehingga tidak
heran ada asumsi tentang bolehnya berbuat kekerasan dan permusuhan dengan umat
dari agama lain karena itu merupakan perbuatan suci. Di sinilah paling tidak
akan tampak betapa perluanya mengetahui perbedaan sekaligus persamaan yang ada
pada agama lain untuk kemudian menjadikannya sebagai pengetahuan yang sangat
berguna.
B. Pembahasan
a. Hakikat Pendidikan
Apabila kita berbicara hakikat pendidikan, sudah
barang tentu kita tidak dapat terlepas dari pembicaraan tentang pendidikan
secara umum. Hal ini disebabkan karena ada keterkaitan antara pengertian
pendidikan Islam dengan pengertian pendidikan secara umum. Dalam memberikan
definisi pendidikan para ahli berbeda pendapat sesuai kerangka berfikir
masaing-masing, diantaranya adalah Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan
adalah bimbingan atau pmpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohanisi terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang
utama.2
Sedangkan Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa
pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditunjukan
untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Menurutnya pendidikan
berarti usaha berkebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar
mempertinggi derajat kemanusiaan.3
Dari dua definisi diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa pendidikan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan dengan sengaja,
seksama, terencana, dan bertujuan yang dilaksanakan oleh orang dewasa dalam
arti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan (profesional) menyampaikan kepada anak didik secara
bertahap, begitu juga apa yang diberikan kepada anak didik itu sedapat mungkin
menolong tugas dan perannya dimasyarakat, dimana kelak ia hidup (termasuk untuk
mempertinggi derajat kemanusiaan).
Adapun yang dimaksud pendidikan Islam sebagaimana
yang dikatakan Sayid Sabiq adalah suatu aktivitas yang mempunyai tujuan
mempersiapkan anak didik dari segi jasmani, akal dan ruhaninya sehingga nanti
mereka menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun
umatnya (masyarakat).4
Beberapa uraian tentang pengertian pendidikan dan
pendidikan islam tersebut dapat memberikan suatu gambaran bahwa keduanya
merupakan satu proses penyiapan generasi
muda untuk menjalankan kehidupan dan tujuan hidupnya secara lebih efektif dan
efisien.
Pada umumnya,
Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia tersebut,
juga harus dilakukan secara langsung dan bertahap, karena kematangan dan
optimalnya perkembangan dan pertumbuhan peserta didik berlangsung melalui
proses demi proses kearah tujuan secara bertahap dan terus menerus
(kontiunitas). Suatu proses yang diinginkan dalam usaha kependidikan
sebagaimana dimaksud adalah proses yang terarah dan bertujuan, yakni usaha
untuk mengarahkan peserta didik kepada arah yang optimal sesuai dengan
kemampuannya, dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu terbentuknya kepribadian
peserta didik yang utuh dan mantap
sebagai manusia yang taat. Dengan demikian pendidikan Islam akan mampu
memproduk manusia yang bersedia untuk hidup dalam masyarakat yang majemuk/
plural dan multikultural.
Pendidikan dalam Islam tidak sesempit yang dipahami
oleh seglintir orang, yakni diantara mereka memahami pendidikan Islam hanya
berkisar pada pendidikan rohani semata,tanpa menyentuh pendidikan yang sifatnya
pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Demikianlah pula bahwa sangatlah tidak tepat anggapan yang mengatakan Islam
itu sangat eksklusif dan tertutup, tidak siap menerima perbedaan dan keragaman.
Oleh karena itu untuk menilai Islam, seseorang harus memahami Islam secara
sempurna atau secara kaffah. Dari segi sejarah Islam telah mempraktekan hidup
rukun dalam keragaman. Nabi membangun Yastrib yang terdidri atas keragaman
etnis dan latar belakang agama dan kepercayaan, nabi menerapkan konsep
Al-Qur’an tidak memaksakan umat non Islam untuk terjadinya konversi ke Islam. [1]
Dengan ikhlas umat Islam membangun kebersamaan yang plural di Madinah.
b. Pengertian Pluralis
Pluralisme
secara harafiah dari bahasa Latin: plus, pluris yang berarti "lebih".
Secara filosofis, pluralisme adalah wejangan yang menekankan bahwa kenyataan
terdiri atas kejamakan dan/atau kemajemukan individu-individu yang berdiri
sendiri-sendiri, dan sebagai demikian, tidak boleh dimuarakan pada
bentuk-bentuk penampakan dari satu kenyataan mutlak. Romo Franz Magnis Suseno, dalam Dialog dan Diskusi
Pluralism and Humanism in Religious Society, yang diselenggarakan Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama, di Jakarta, memberikan pendapatnya: pluralisme diartikan
sebagai kemampuan untuk hidup damai bersama satu pemeluk agama dengan pemeluk
agama lain, dengan dasar nilai-nilai amat diperlukan untuk menghadang timbulnya
kebencian yang sepertinya banyak terjadi belakangan ini. Ia menambahkan
pluralisme bukanlah relativisme, atau memandang semua agama sama saja.
Pluralisme adalah sikap tenang dan tidak terganggu dengan iman dan keberagamaan
orang lain. Pluralisme itu bukan berarti memandang semua agama sama. Akan
tetapi sebagai sebuah sikap yang terbuka terhadap kemajemukan. Paham pluralisme
juga tidak mengenal sikap memaksakan ajaran agama yang satu ke pemeluk agama
yang lain.
c. Pengertian Multikultural
Istilah
multikulturalisme diambil dari kata “multicultural”
menjadi “multiculturalisme”, sebuah
istilah yang digunakan oleh masyarakat Kanada pada sektar tahun 1950-an. Kata “multicultural” juga menurut Kymlicka yang
dikutip Fahri Hamzah (2011 : 117), seringkali digunakan dalam arti yang lebih
luas. Namun istilah tersebut tetap menekankan pada konsep tentang sejumlah
kelompok sosial nonetnis, yang karena berbagai alasan, dikucilkan atau
dikesampingkan dalam aliran utama masyarakat. Kymlicka menekankan pengucilan
dan pengesampingan itu sebagai fenomena yang tampak dalam masyarakat modern,
dimana multikulturlisme yang direpresentasikan dengan adanya kelompok budaya
minoritas yang menuntut pengakuan atas identitas mereka serta diterima
perbedaan budaya mereka, hadir sebagai tantangan bagi masyarakat modern.
Multikultural
merupakan sifat yang menunjukan adanya keragaman budaya dalam satu masyarakat.
Untuk mewujudakan nilai-nilai budaya yang multicultural, yang mempunyai
keragaman budaya, menurut Parsudi Suparlan acuan utamanya yaitu sebuah idiologi
yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara
individu maupun secara kebudayaan.5 Konsep
yang relevan dengan multikulturalisme antaralain demokrasi, keadilan dan hukum,
nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dan perbedaan yang sederajat, suku
bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan
public, HAM dan dan konsep-konsep lainnya yang relevan.6
d. Tujuan, Prinsip Pengembangan dan Rancangan
Pendekatan Pendidikan Islam Berwawasan Pluralis-Multikultural
1.Tujuan Pendidikan
Pluralis-Multikultural
Akhir-akhir
ini, sering terjadi kritik terhadap pendidikan agama di antaranya bahwa
pendidikan agama tidak berdampak pada perubahan prilaku peserta didik setelah
mereka mengalami proses pendidikan agama tersebut. Meskipun di beberapa unit
pendidikan materi agama diberikan dengan porsi yang cukup besar, namun tetap
tidak mampu mencegah peserta didik berprilaku buruk seperti pergaulan bebas,
tawuran, berpikiran sempit (dogmatis), kurangnya toleransi dan penghargaan
terhadap orang lain. Maka tidak heran jika pada akhirnya banyak orang menjadi
apatis dengan pendidikan agama, dan mempertanyakan sejauh mana efektifitas mata
pelajaran tersebut bagi peningkatan kesadaran peserta didik baik secara
kultural maupun agama.
Pembelajaran
dalam koridor pendidikan agama saat ini masih cenderung dogmatis serta kurang
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif sehingga melahirkan
pemahaman agama yang cenderung tekstual dan eksklusif. Di era multikulturalisme
ini, pendidikan agama merupakan pilar penyangga bagi kerukunan umat beragama,
sehingga diharapkan ia tidak saja menjadi fondasi integritas nasional yang
kokoh tetapi juga menjadi fondasi pengayom keberagaman yang sejati.
Oleh
karenanya, dengan memanfaatkan keragaman agama-agama yang ada serta melalui
bentuk pembelajaran agama yang dialogis, pendidikan agama berwawasan
pluralis-multikultural diharapkan memiliki karakteristik khas yang meliputi:
penanaman kesadaran akan pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan
agama yang ada. Penanaman semangat relasi antar manusia dengan spirit
kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, menghargai
perbedaan dan keunikan agama-agama. Menerima perbedaan-perbedaan dengan pikiran
terbuka demi mengatasi konflik untuk terciptanya perdamaian dan kedamaian.
Berangkat
dari pandangan di atas, maka pendidikan pluralis-multikultural setidaknya
memiliki 2 tujuan besar, yakni tujuan awal dan tujuan akhir, yaitu:
Tujuan awal pendidikan pluralis-multikultural adalah membangun wacana pendidikan multikultural dan penanaman nilai-nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi terhadap para pelaku pendidikan.
Tujuan awal pendidikan pluralis-multikultural adalah membangun wacana pendidikan multikultural dan penanaman nilai-nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi terhadap para pelaku pendidikan.
Sedangkan
tujuan akhir dari pendidikan multikultural adalah agar peserta didik mampu
memahami dan menguasai setiap materi pembelajaran serta memiliki karakter yang
kuat untuk selalu bersikap demokratis. Multikulturalisme mengandung pengertian
kemajemukan budaya, sementara Pluralisme lebih kepada kemajemukan agama. Dalam
konteks ini, istilah Pendidikan Islam Pluralis-Multikultural berarti sikap
menerima kemajemukan ekspresi budaya manusia dalam memahami pesan utama agama,
terlepas dari rincian anutannya.
2. Prinsip Pengembangan Pendidikan Pluralis-Multikultural
Pendidikan
pluralis multikultural dapat dimulai dari aspek yang paling kecil, yaitu diri
sendiri. Prinsip ini menekankan pendidikan dimulai dari pengenalan terhadap
jati diri sendiri, bukan jati diri yang lain. Keterlibatan seseorang dalam
pendidikan multikultural akan terjadi apabila ia melihat ada relevansinya
dengan kehidupannya sendiri. Relevansi masalah orang lain terhadap kehidupannya
sendiri akan membuat seseorang berminat untuk terlibat dalam pendidikan
multikultural.
Pendidikan
pluralis multikultural hendaknya dikembangkan agar pembelajaran tidak
mengembangkan sikap etnosentris. Dengan mengembangkan sikap yang
non-etnosentris, kebencian dan konflik akan dapat dihindarkan secara maksimal.
Itu berarti bahwa pendidikan ini bertujuan untuk membangun kesadaran yang tidak
bersifat mengunggulkan diri dan kelompoknya sebagai yang paling unggul dengan
mengalahkan yang lain.
Pendidikan
pluralis-multikultural seharusnya dikembangkan secara integratif, komprehensif
dan konseptual. Pendekatan semacam ini mengisyaratkan bahwa agar kurikulum
pendidikan pluralis-multikultural memasukkan sebuah kurikulum yang bersifat
total, terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran seperti bahasa, ilmu
pengetahuan sosial, sains dan teknologi, pendidikan jasmani, kesenian atau
pendidikan moral.
Pendidikan
pluralis-multikultural harus menghasilkan sebuah perubahan, Bukan saja pada
materi kurikulum, tetapi pada praktek pembelajaran dan struktur sosial dari
sebuah kelas. Untuk mencapai suasana pembelajaran demikian, maka pembelajaran
harus berorientasi pada proses, misalnya bermain peran, simulasi, diskusi,
pembelajaran kooperatif, pembelajaran partisipatoris, dan sebagainya.
Pendidikan
pluralis-multikultural harus mencakup realitas sosial dan kesejarahan dari
agama dan etnis yang ada. Kontekstualisasi semacam ini memiliki makna penting
untuk menumbuhkan rasa hormat, toleran dan menghargai keragaman yang ada. Dalam
konteks pendidikan agama berwawasan pluraslis multikultural, seorang pendidik
(guru) diharapkan bersikap demokratis. Artinya, segala prilakunya tidak
diskriminatif terhadap peserta didik yang berbeda agama. Selain itu, ia juga
diharapkan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap isu-isu atau
kejadian-kejadian yang terkait dengan masalah agama. Oleh karenanya, seorang pendidik
sudah seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan
kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, dan segala bentuk
kekerasan sangat dilarang oleh agama. Dalam hal ini, setiap unit pendidikan
(sekolah) juga diharapkan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di dalamnya
mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi sehingga semua
anggota di unit pendidikan (sekolah) itu dapat selalu belajar untuk saling
menghargai orang lain yang berbeda.
3.
Rancangan Pendekatan (Metodologi) Pendidikan Agama Berwawasan
Pluralis-Multikultural.
Pengembangan
pendidikan agama berwawasan pluralis multikultural dapat diterapkan pada
beberapa aspek, yakni: orientasi muatan (kurikulum), orientasi siswa, dan
orientasi reformasi unit pendidikan (persekolahan).
Pada pendidikan yang berorientasi pada muatan, J.A. Banks (2009) menawarkan kerangka kurikulum dengan beberapa pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan kontributif, bertujuan untuk memasukkan materi-materi tentang keragaman kelompok keagamaan (termasuk kelompok etnik dan kultur masyarakat).
Pada pendidikan yang berorientasi pada muatan, J.A. Banks (2009) menawarkan kerangka kurikulum dengan beberapa pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan kontributif, bertujuan untuk memasukkan materi-materi tentang keragaman kelompok keagamaan (termasuk kelompok etnik dan kultur masyarakat).
b.
Pendekatan aditif, yaitu melakukan penambahan muatan-muatan, konsep-konsep baru
ke dalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasarnya. Pendidikan agama
memanfaatkan muatan-muatan khas multikultural sebagai pemerkaya bahan ajar,
konsep-konsep tentang harmoni kehidupan bersama antar umat beragama, saling
toleransi, ko-eksistensi, pro-eksistensi, kerjasama, saling menghargai dan
memahami.
Untuk merancang strategi hubungan multikultural
dalam pendidikan (termasuk pendidikan agama) setidaknya dapat digolongkan
kepada 2 (dua) pengalaman, yakni: pengalaman pribadi dan pengalaman pengajaran
yang dilakukan oleh guru (pendidik).
Pengalaman pribadi dapat dikondisikan dengan
menciptakan suasana seperti: Seluruh peserta didik baik yang minoritas maupun
mayoritas memiliki status dan tugas yang sama. Seluruh peserta didik bergaul,
berhubungan, berkembang dan berkelanjutan bersama. Seluruh peserta didik
berhubungan dengan fasilitas, gaya belajar guru dan norma kelas yang sama.
Adapun dalam bentuk pengalaman
pengajaran adalah sebagai berikut:
1. Guru
harus sadar akan keragaman siswa.
2. Bahan kurikulum dan pengajaran seharusnya
merefleksikan keragaman.
3. Bahan kurikulum
dituliskan dalam bahasa-bahasa daerah/etnik yang berbeda.
Selain
itu, di dalam pendidikan agama berwawasan pluralis-multikultural perlu juga
upaya pendekatan lain seperti: pendekatan estetik dan pendekatan berperspektif
gender.
Pendekatan
estetik di dalam pendidikan agama akan menjadikan peserta didik memiliki
sifat-sifat yang santun, damai, ramah, dan mencintai keindahan. Dalam
pendekatan ini, pendidikan agama tidak didekati secara doktrinal yang cenderung
menekankan adanya “otoritas-otoritas” kebenaran agama, tetapi lebih apresiatif
terhadap gejala-gejala yang terjadi di masyarakat serta dilihat sebagai bagian
dari dinamika hidup yang bernilai estetis. Sedangkan pendekatan berperspektif
gender adalah pendekatan yang tidak membedakan peserta didik dari aspek jenis
kelamin. Dengan demikian pendekatan ini sangat manusiawi.
Adapun metode yang dapat diterapkan dalam pendidikan agama berwawasan pluralis-multikultural cukup beragam. Metode yang paling baik dalam sebuah pembelajaran idealnya bervariatif, baik antara teknik yang berpusat pada guru maupun teknik pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.
Adapun metode yang dapat diterapkan dalam pendidikan agama berwawasan pluralis-multikultural cukup beragam. Metode yang paling baik dalam sebuah pembelajaran idealnya bervariatif, baik antara teknik yang berpusat pada guru maupun teknik pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.
Salah
satu metode yang dapat diterapkan adalah dengan menggunakan “model komunikatif”
dengan menjadikan perbedaan sebagai titik tekan. Metode ini sangat efektif
apalagi dalam proses belajar mengajar yang sifatnya kajian perbandingan agama
dan budaya. Sebab, dengan komunikasi ini memungkinkan setiap komunitas yang
memiliki latar belakang berbeda dapat mengemukakan pendapatnya secara
argumentatif.
Selain
metode itu, perlu juga diterapkan metode pendukung seperti: metode belajar
aktif (collaborative learning), metode belajar melalui penemuan dan pengalaman
sendiri (self discovery learning), ceramah (socratic teaching) yakni ceramah
atau ekspose yang diawali dengan pertanyaan lalu diberikan jawaban yang terus
mengalir sehingga terjadi interaksi antara pendidik dan peserta didik.
C. Kesimpulan dan Penutup
Islam adalah agama terbuka, tidak
menutup diri, dan memberikan kebebasan berfikir, bagi penganutnya dan ajarannya
mengajak penganutnya untuk senantiasa berinteraksi antar sesama manusia tanpa
membeda-bedakan antar satu dengan yang lain serta menghimbau untuk senantiasa
berdialog mencari kebenaran yang hakiki dengan pihak lain (non Islam) dan
dilakukan dengan cara yang baik.
Pendidikan Islam yang plural adalah
pendidikan yang mengarahkan peserta didik untuk mampu menjalin kerjasama dengan
pihak lain tanpa membedakan latar belakang etnis, warna kulit, agama dan
kepercayaan.
1 Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Prespektif Islam,Bandung:Remaja Rosda
karya,1994,hal.14-15
2 Ki Hajar
Dewantara,Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta:Majeis Luhur Persatuan Taman Siswa,1962,
hal.166
3 sayid
sabiq,Islamuna(Beirut:Darul Kitab)hal.237
5 Parsudi
Suparlan,Menuju masyarakat Indonesia yang mullikultural(makalah)symposium
Internasional, Denpasar:Jurnal Antropologi Indonesia,2002,hal.3
6 Ibid